Langsung ke konten utama

Puing-puing Hati (Part 3)

Cerbung
oleh Anne Heryane
www.haibunda.com

Suara kukuruyuk ayam membangunkan Nadya. Dilihatnya Rendy masih tidur lelap. Kelopak matanya mengerut saat menengok jendela rumah yang tampak terang oleh sinar mentari.

 "Ah, sudah siang rupanya." Nadya melirik jarum jam yang menunjuk angka enam. 

Biasanya Nadya bangun ketika azan subuh berkumandang. Namun, kali ini ia terlambat. Itu karena ia susah tidur semalam usai kejadian itu. 

Ia bergegas mengambil air wudu dan melaksanakan salat subuh. Doa dan harap terus digaungkan di hatinya agar Allah sudi memberinya petunjuk. 

"Mama... Mama!" Rendy memanggilnya usai terbangun. Balita itu menghampiri Nadya yang masih bersimpuh. Nadya lekas mengakhiri salatnya. 

"Eh, anak mama udah bangun. Sini duduk , Sayang!" ucapnya lembut. Ia meraih tangan kecil itu dan mendudukkannya di pangkuan. 

"Mama, matanya kenapa kok bengkak?" tanya anak itu menyelidiki keanehan bentuk pada kedua mata ibunya. 

"Gak apa-apa. Mama sedang sakit mata,  Nak!" Terulas senyum tipis di wajah wanita itu. 

"Mama gak kerja?"  

"Hmm... Mama hari ini libur dulu. Kan lagi sakit mata. Terus mama juga pengen nemenin Rendy bermain." 

"Loh, Papa ke mana, Ma? Biasanya kan papa yang nemenin Rendy main kalo Mama kerja," 

"Papa lagi... ehh... lagi ke luar, iya," Nadya tergagap menjawab pertanyaan Rendy mengenai keberadaan sang ayah. 

"Ohh..." timpal anak itu polos. 

Nadya sudah menduga pasti Rendy bertanya tentang ayahnya. Apalagi Rendy memang sangat dekat dengannya. Bagaimana tidak, setiap Nadya pergi bekerja, Firman lah yang menjaga Rendy.

Dalam pikiran Nadya cara seorang ayah mengurus anak tak sebaik cara ibu. Namun,  kondisi seperti ini mau tak mau mesti dijalani. Inilah yang disesalkan Nadya. Sebagai ibu, ia telah kehilangan waktu kebersamaan bersama sang anak.

Nadya merasa rumah tangga yang dibinanya tak normal. Peran yang mesti dijalankan sang suami malah harus dijalankannya seorang diri. Wanita itu harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang tak sedikit. Apalagi biaya hidup zaman sekarang terus melonjak. Membuat Nadya pening kepala saja. 

Di sela-sela waktu senggangnya di rumah Ia pun masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, seperti mencuci piring dan pakaian.

Firman memang tak bisa begitu diandalkan dalam pekerjaan rumah. Ia selalu harus dimintai tolong tanpa ada inisiatif membantu pekerjaan Nadya. Sehingga membuat Nadya sering merasa kelelahan.

Nadya bekerja di bagian marketing sebuah perusahaan di Bandung. Gaji yang diperolehnya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Sementara itu,  Firman tak mempunyai pekerjaan tetap. Terkadang ia hanya bekerja serabutan dengan penghasilan tak jelas. 

Semakin lama Nadya merasa letih hidup seperti itu. Rasanya wajar jika dia berharap memiliki suami yang mampu menafkahinya lahir dan batin. Sungguh Nadya tak memiliki keinginan yang muluk-muluk. Nadya hanya ingin menjalankan peran sebagai istri yang mengurus rumah tangga dan fokus merawat anaknya. 

Sejak tahun pertama pernikahan, Nadya selalu berharap Firman mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun, suaminya tak kunjung mendapat pekerjaan tetap. Lima tahun membangun rumah tangga bersama Firman membuat Nadya stres.
 ‎
Nadya dihadapkan kepada dilema antara berpisah untuk membuka lembaran baru atau tetap bersama Firman demi kebahagiaan putranya. 

Malam itu pun menjadi puncak kekesalan Nadya terhadap keadaan rumah tangganya yang karut marut. Nadya memutuskan untuk melepaskan diri dari Firman, suami yang sebetulnya masih sangat dicintainya. Ia selalu meyakinkan diri sendiri bahwa itulah jalan terbaik dan ia pasti mampu hidup tanpa kehadirannya. 

🍁🍁🍁

(bersambung) 

#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
#TantanganPekan8
#Cerbung

Komentar

Ashima Meilla Dzulhijjah mengatakan…
Makin penasaran nih mbak
Amanda Linhan mengatakan…
Tulisannya bagus, tetapi tanda baca dalam dialog perlu lebih diperhatikan. Keep up the good work!

Postingan populer dari blog ini

Lorong Kelam

Fiksi oleh Anne Heryane Ilustrasi: www.pixabay.com Bola mata seperti ingin meloncat ke luar dari cangkangnya. Jantung berdegup kencang. Keringat menghujani seluruh tubuh mungil ini.  Mulut refleks menganga. Lekas-lekas kubekap dengan telapak tangan kanan. Benar-benar tak sanggup mempercayai semua ini.  Di sisi kanan labirin yang minim cahaya, beberapa anak berseragam putih abu sedang asyik ngefly . Dua jarum suntik dan sobekan plastik tersimpan tak beraturan di depannya. Beberapa botol miras digeletakkan serampangan. Mereka yang mayoritas lelaki puber itu bersandar lemas pada dinding lorong yang buram.  Ada juga sekitar tiga perempuan usia tanggung selonjoran di samping para lelaki setengah sadar itu. Sesekali mereka berbicara melantur dan terbahak-bahak sendiri. Persis orang sakit jiwa, pekik batinku.  Di sisi kiri lorong yang sedikit menjorok, tersisa ruang kecil berukuran satu kali dua meter. Dua muda-mudi nekad melucuti pakaian seragamnya. Di balik tirai tipi

Jacko Kutil (Part 1)

(Adaptasi dari Cerita Rakyat Joko Kendil)  oleh Anne Heryane Pada zaman dahulu, berdirilah kerajaan yang sangat besar pada masanya, yakni Kerajaan Novela. Kerajaan ini dipimpin seorang raja bernama Raja Eduardo. Sumber daya alam di kerajaan ini sangat melimpah ruah. Sayangnya, kehidupan rakyatnya jauh dari sejahtera. Mereka hidup dalam kemiskinan dan di bawah kekuasaan pemimpin yang semena-mena. Kekayaan alam di negeri itu hanya dinikmati raja, keluarga istana, para petinggi kerajaan, dan para bangsawan.  Suatu hari Ratu Esmeralda melahirkan seorang putra. Betapa terkejutnya sang raja ketika melihat sosok pangeran yang buruk rupa. Di wajah, leher, dan bagian tubuh lainnya bertebaran kutil-kutil. Melihatnya saja membuat bulu kuduk berdiri.  Raja merahasiakan sosok pangeran yang dipenuhi kutil ini kepada rakyatnya. Ia pun mengancam akan memberikan hukuman mati kepada siapa saja di istana yang membocorkan rahasia ini.  Raja pun memanggil tiga orang pandai dan

Puing-Puing Hati

Cerbung oleh Anne Heryane indipendent. co. uk "Pergi dari sini. Aku sudah muak hidup sama kamu!"  Nadya membuncahkan kekesalannya kepada ayah dari putra tersayangnya yang masih balita itu.  Lelaki berperawakan tinggi kurus itu hanya duduk termenung, meresapi ucapan wanita yang telah mendampinginya selama lima tahun. Kata-kata itu begitu menohok ulu hati. Beberapa potong baju kemeja dan celana panjang dilemparkan Nadya ke arahnya. "Nih,  bawa semua baju kamu. Aku ingin kita cerai!" jerit wanita berusia 30 tahun itu.  Bagaikan disambar petir, ucapan Nadya membuat Firman terhenyak. Dadanya sesak. Namun, ia harus menghadapinya. Lelaki itu sadar bahwa ia selama ini belum mampu membahagiakan istrinya. Ia bergeming dengan perlakuan istrinya. Rasanya tak percaya jika rumah tangganya diterjang amukan badai sedahsyat ini.  Nadya benar-benar kalut. Ia melontarkan semua rasa yang selama ini singgah. Ada rasa sedih, kesal, benci, marah. Ia tela