Fiksi
oleh Anne Heryane
Foto: www.viva.co.id
Keesokan paginya saat aku hendak berangkat ke sekolah. Ibu sedang menyapu halaman. Dia wanita setengah baya yang tampak lebih muda dari usianya. Aku meraih tangan kanan ibu lalu mencium punggung tangannya.
“Gani berangkat dulu ya, Bu. Oh iya, gelas bekas susu yang ibu kasih tadi malam udah Gani simpan di dapur.”
Ibu cuma bengong dan terheran-heran.
“Loh, kenapa, Bu?” tanyaku penasaran.
“Hhmm…rasanya ibu tidak ke kamarmu kok tadi malam.” Pikiran ibu menerawang.
“Ah, masa Ibu lupa sih!” celetukku.
“Seingat ibu, tak lama setelah salat Isya ibu merasa pusing lalu ibu pergi tidur.” Ibu tampak serius dengan perkataannya. Dahinya mengernyit sama sepertiku.
Ada tanda tanya tersimpan di benakku. Aku mencoba tak menghiraukan kebingunganku ini. Aku pikir Ibu sudah mulai pikun. Jelas-jelas ibu yang datang semalam.
Lekas-lekas mataku menyoroti jam G shock merah yang melilit di pergelangan tanganku.
“Ah, sudah siang rupanya” ujarku dalam hati.
“Maaf, Bu. Gani Buru-buru, takut terlambat. Dadah Ibu!” Aku melambaikan tangan sambil setengah berlari. Ibu pun membalas lambaianku disertai senyuman.
Aku berjalan kaki menuju SMA Mutiara Bandung. Letaknya sekitar satu kilometer dari rumah yang baru aku tempati selama sebulan. Dulu aku dan ibu tinggal di Jakarta. Namun, setelah ayah meninggal aku dan ibu pindah ke rumah kontrakan ini. Kami hidup dengan menggunakan uang pensiun ayah.
Aku termasuk anak yang mudah bergaul. Baru sebulan di sini aku sudah memiliki beberapa teman dekat.
***
Usai bel pulang sekolah berbunyi. Aku menghampiri teman dekatku. Lalu, aku berjalan bersama dua kawanku, Iwan dan Asep yang rumahnya searah denganku. Biasanya aku pulang bersama Asep. Kebetulan Iwan hari ini tak dijemput ayahnya sehingga ia pulang bersama kami.
Sepanjang jalan kami mengobrol sambil sesekali bercanda. Kami juga membicarakan tugas-tugas sekolah yang menumpuk. Aku pun mengeluhkan tugasku yang belum selesai. Dan tanpa terasa akhirnya aku sudah berada di jalan depan rumahku.
Iwan tampak kaget. Ia menatapku dengan mata membelalak. Ia baru tahu bahwa ternyata aku tinggal di rumah kontrakan yang telah lama kosong itu.
Rumah itu berukuran sedang. Tak besar tapi juga tak kecil. Terdapat teras berlantai keramik cokelat tua di depannya. Dinding rumah itu berwarna abu-abu. Pagarnya bercat hitam, namun pada sebagian batang pagar, catnya sudah terkelupas. Sebuah Pohon Kersen berdiri tegak di halaman rumah tersebut. Rumah itu memang tampak kusam dan agak menyeramkan jika dilihat dari luar.
Selama ini aku merasa nyaman saja tinggal di rumah itu. Sampai keanehan kurasakan dari obrolanku tadi pagi bersama ibu.
“Bro, emang enggak takut ya tinggal di rumah itu?” tanya Iwan.
“Emangnya kenapa?” sahutku.
“Rumah itu kan ada…ada…”
“Ada tikusnya.” Asep menimpali sambil terkekeh.
“Ahh…bukan. Rumah itu ada penunggunya," tegas Iwan.
“Dengar-dengar, dulu ada seorang wanita yang gantung diri di bawah pohon kersen itu.” tambahnya lagi.
Aku tercengang mendengar kata-katanya.
“Udah, ga usah didengerin Gan. Emang dasar si Iwan ajah penakut.” Asep mencoba menetralisir suasana hatiku.
“Emang kamu berani masuk ke rumah dia?” Mata Iwan melirikku.
“Loh, siapa takut. Kenalin Nih Asep, Si jagoan dari kota kembang!” imbuhnya sambil sedikit membusungkan dan menepuk-nepuk dadanya.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan mereka yang suka iseng menjahili temannya. Aku tak begitu menanggapi candaan mereka yang kekanak-kanakan.
Namun dalam hati aku menjadi sedikit resah mendengar omongan mereka. Apalagi semalam aku mengalami kejadian aneh.
“Ah sudahlah, aku mau istirahat dulu. Ayok siapa yang mau mampir," tawarku.
Iwan dan Asep saling menunjuk. Bahkan, Iwan menampakkan wajah yang ketakutan.
“Ah, thanks Bro. Kapan-kapan ajah," seru Iwan sambil tersenyum getir.
“Iya, aku juga Gan. Harus cepet-cepet pulang. Soalnya ditunguin emak!” ujar Asep seakan kehilangan nyalinya.
“Ya sudah, sampai ketemu besok ya!”
“Ok, Bro!”
Aku memerhatikan kelakuan mereka yang agak aneh. Mereka seperti lari terbirit-birit seakan ingin segera berada jauh dari rumahku.
“Dasar bocah-bocah gila!” sungutku sambil tersenyum kecut.
Aku membalikkan badanku hendak menuju rumah. Saat berjalan melewati pohon kersen itu. Samar-samar terdengar tangisan seorang wanita yang amat menyayat hati.
"Huuhhuuu...huuuuuhhuuu...hiks...hiks... huhuuuu!" Suara tangisannya semakin jelas terdengar.
Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin bercucuran. Bulu kudukku seakan serentak berdiri. Langkah kakiku pun seolah terasa sangat berat.
"Si...siapa...di situ?" ucapku terbata-bata.
Aku mencoba menemukan sumber suara meski jantung berirama tidak normal. Aku memberanikan diri untuk menoleh ke arah pohon itu.
Betapa terkejutnya aku. Di sana tampak berdiri sesosok wanita berjubah putih dengan rambut panjang terurai menutupi wajahnya.
Ia melambai-lambai kepadaku disertai suara tawanya yang menyeramkan.
"Hihiiii... Hihihi... Hihihi!"
Aku langsung memejamkan mata. Mulutku komat-kamit mengucapkan doa-doa. Tubuhku pun tiba-tiba saja terasa lunglai sampai aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Baca cerita sebelumnya Misteri Rumah Kontrakkan
#KomunitasODOP
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7
#FiksiHorror
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7
#FiksiHorror
Komentar
Terima kasih sudah mampir
😊
😁
"---[,]" tambahnya lagi.
Lanjutkan mba anne