Fiksi
oleh Anne Heryane
Bola mata seperti ingin meloncat ke luar dari cangkangnya. Jantung berdegup kencang. Keringat menghujani seluruh tubuh mungil ini. Mulut refleks menganga. Lekas-lekas kubekap dengan telapak tangan kanan. Benar-benar tak sanggup mempercayai semua ini.
Di sisi kanan labirin yang minim cahaya, beberapa anak berseragam putih abu sedang asyik ngefly. Dua jarum suntik dan sobekan plastik tersimpan tak beraturan di depannya. Beberapa botol miras digeletakkan serampangan. Mereka yang mayoritas lelaki puber itu bersandar lemas pada dinding lorong yang buram.
Ada juga sekitar tiga perempuan usia tanggung selonjoran di samping para lelaki setengah sadar itu. Sesekali mereka berbicara melantur dan terbahak-bahak sendiri. Persis orang sakit jiwa, pekik batinku.
Di sisi kiri lorong yang sedikit menjorok, tersisa ruang kecil berukuran satu kali dua meter. Dua muda-mudi nekad melucuti pakaian seragamnya. Di balik tirai tipis itu, keduanya menggeliat-geliat menikmati keremangan. Suara gaduh menggema sepanjang lorong bagai menghujamkan belati pada gendang pendengaran.
Ya Rabb, betapa sesak dadaku. Tak kuat rasanya menyaksikan langsung fenomena ini. Di antara mereka ada anak-anak yang kukenal lugu, sopan, dan tak banyak tingkah di sekolah. Namun, ternyata keadaan mereka sangat parah.
Aku ingin menghampiri saat itu juga. Meminta mereka untuk meninggalkan perbuatan nista itu. Meyakinkan bahwa mereka masih memiliki masa depan cerah. Namun, aku menahan diri karena kupikir itu percuma. Anak-anak itu sedang larut dalam dunianya yang kelam.
Kuayunkan kaki dengan cepat. Butir-butir bening berjatuhan di pipi. Aku benar-benar merasa sangat gagal. Perasaan ini terus kubawa berlari sampai netra menangkap seberkas cahaya mentari di penghujung lorong.
"Hei, lo mo ke mana?" teriak seorang remaja laki-laki di belakangku.
Langkah kaki mendadak terhenti.
"Sini, gabung dong sama kita, asyiikk cooyy!" ujarnya lagi. Suara langkah kakinya terdengar sempoyongan dan semakin mendekat ke arahku.
Aku yang saat itu dalam penyamaran sebagai siswi lengkap dengan seragam putih abu hanya diam tak menjawab. Ada sedikit rasa gugup karena khawatir mereka tahu penyelidikkan yang kulakukan.
Langkah kaki mendadak terhenti.
"Sini, gabung dong sama kita, asyiikk cooyy!" ujarnya lagi. Suara langkah kakinya terdengar sempoyongan dan semakin mendekat ke arahku.
Aku yang saat itu dalam penyamaran sebagai siswi lengkap dengan seragam putih abu hanya diam tak menjawab. Ada sedikit rasa gugup karena khawatir mereka tahu penyelidikkan yang kulakukan.
Tanpa menoleh ke arahnya, Aku pun terus maju mengabaikan panggilannya. Sampai perasaan lega menghampiri. Akhirnya aku dapat keluar dari lorong gerbong kereta api yang tak terpakai itu tanpa diketahui siapa aku.
Jarak 300 meter dari tempat laknat itu, aku pun mulai menghubungi Bapak Ketua Yayasan. "Selamat sore, Pak! Saya Sandra, Guru BK, saya sudah mengetahui tempat nongkrong anak-anak itu, Pak. Dan saya sudah mempunyai buktinya, semuanya ada dalam rekaman HP saya."
"Bagus, Bu. esok lusa kita bicarakan masalah ini di sekolah bersama orang tua anak-anak itu!"
"Baiklah, Pak!"
Aku menekan tombol off untuk menghentikan panggilan. Dugg tiba-tiba kepala terasa sangat sakit seperti ada benda tumpul yang dipukulkan ke kepalaku dua kali. Aku menoleh ke belakang, samar kulihat wajah anak lelaki berseragam dengan sebatang kayu di tangannya.
"Kena kau, Penyamar!" serunya terkekeh.
Suara itu mirip dengan suara anak lelaki yang memanggil-manggil di lorong tadi. Pandanganku berkunang-kunang dan akhirnya semua tampak gelap.
Suara itu mirip dengan suara anak lelaki yang memanggil-manggil di lorong tadi. Pandanganku berkunang-kunang dan akhirnya semua tampak gelap.
***
#TantanganPekan7
#KomunitasODOP
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7
#fiksi
#KomunitasODOP
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7
#fiksi
Komentar
btw, keren Kak cerpennya. efek belajar dan memerhatikan diam-diam. hahaaa
Biar tenang kak Ashima hhe
mungkin kebih bagus ditambabhin satu kata 'langkah' kakiku mendadak terhenti.
😊
😄