Langsung ke konten utama

Menjadi Santri adalah Impianku

Cerita Pengalaman
oleh Anne Heryane
Masjid Al-Fattah Tasikmalaya 
(republika. co. Id) 

Selepas lulus SD dulu aku pernah mengutarakan keinginan kepada ayah dan ibu.

"Ayah ibu, aku ingin masuk ke pesantren," ucapku dengan sorot mata penuh harap menanti jawaban yang melegakan hati. 

Ayah ibu hanya tersenyum mendengar keinginanku.

Ayah berkata, "Tidak usah masuk pesantren, Nak. Kau belajar di sekolah umum dekat rumah saja, ya!"

"Oh, kenapa?" tanyaku meminta penjelasan. Jujur saat itu aku merasa kecewa.

Mereka memberikan alasan yang tak begitu jelas dan kurang memuaskan memang. Namun, aku sadar bahwa aku hanyalah seorang anak yang seharusnya patuh kepada orang tua.

Rentetan pertanyaan masih saja berputar-putar di kepala.
Apakah ayah dan ibu ingin selalu dekat denganku? 
Apakah ayah keberatan memasukkanku ke pesantren karena butuh biaya yang tidak sedikit?
Apa sebenarnya alasan utama ayah?
Kenapa ibu juga tampak tak begitu mendukung?
Apakah menjadi santri itu tidak membanggakan?
Apa sebenarnya masalahnya?
Lantas mengapa keinginanku tak mereka penuhi?

Aku hanya menghela napas mencoba ikhlas dengan keputusan keduanya. Ya sudahlah aku tak perlu bersikeras dengan keinginanku ini. Aku pikir orang tua lebih tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Toh aku pun masih bisa belajar di sekolah dan madrasah dekat rumah.

Menjadi santri adalah impianku. Entah kenapa aku mempunyai keinginan besar seperti ini. Bukankah hidup terpisah dari orang tua di usia kanak-kanak dan menjalani hidup secara mandiri itu tidak mudah?

Yang jelas sejak dulu aku ingin lebih fokus menuntut ilmu agama dan belajar hidup mandiri. Bagiku, hidup mandiri merupakan tantangan yang ingin kujalani ketika masih berusia 12 tahun.

Saking ingin menjadi santri, aku sempat ikut ke kampung halaman teman mengajiku di Cikadongdong, Tasikmalaya.

Bertepatan dengan liburan sekolah, ada program pesantren kilat selama kira-kira dua minggu (17 Mei - 3 Juni 1999) di Pondok Pesantren At-Thohariyyah. Saat itu aku baru lulus SMP. 

Temanku, sebut saja Nina, berencana mengikuti pesantren kilat di sana, sekaligus mengisi liburan di kampung halaman kakek neneknya. Ia lalu mengajakku ikut serta. Dengan senang hati aku menerima tawarannya.

Rasanya ragu meminta izin kepada kedua orang tua untuk mengikuti pesantren itu. Untungnya mereka pun mengizinkan mungkin karena waktunya cuma sebentar.

Akhirnya aku bisa merasakan hidup sebagai santri di sebuah pesantren tradisional. Kau tahu betapa senangnya aku kala itu. Aku pun segera mempersiapkan segala keperluan dan akhirnya berangkat ke sana bersama temanku menggunakan bus.

Oleh kerabat temanku, aku dan Nina dititipkan kepada Kyai dan Bu Nyai, pengasuh ponpes Ath -Thohariyyah selama beberapa waktu.

Pola hidupku berubah di pesantren ini. Aku menjalani kebiasaan yang memang tak biasa kukerjakan. Kebiasaan yang berubah terkait dengan fasilitas adalah kebiasaan bersuci.

Aku berwudu di sebuah kolam buatan yang berukuran luas seperti kolam renang. Letaknya di tengah-tengah kobong atau asrama. Cara berwudunya seperti biasa hanya saja dengan mencelupkan langsung tangan dsb. ke dalam air kolam tersebut. Awalnya tak terbiasa dan mempertanyakan keabsahannya. Mereka mengatakan bahwa air itu lebih dari dua kulah jadi boleh mencucinya langsung di kolam itu.

Tempat mandi dan buang hajat letaknya sekitar 100-200 meter dari asrama. Sehingga setiap santri yang ada keperluan harus berjalan dulu ke tempat tersebut yang posisinya agak ke bawah (lebak).

Tempatnya masih sangat natural dan mengandalkan sumber mata air setempat yang masih jernih. Sumber mata air itu berbentuk kolam kecil yang dibatasi dengan batuan, tanah, dan pohon-pohon.

Perubahan kebiasaan lainnya yang pasti adalah pada jadwal kegiatan atau aktivitas. Setiap santri harus bangun sekitar pukul empat pagi. Setelah bangun para santri bersiap-siap ke masjid untuk melaksanakan salat sunat dan salat subuh. Usai salat subuh kami mengkaji suatu kitab di aula masjid hingga matahari terbit.
Foto santri putri gontor
(bimbelgontor.com)

Setelah itu, santri mengisi kegiatan membersihkan diri dan makan pagi. Santri melanjutkan kegiatan mengaji dengan materi berbeda sampai malam hari. Diselingi istirahat salat dan makan pada waktu zuhur, ashar,  magrib,  dan Isya.

Di ponpes ini aku lebih banyak mengisi aktivitas sehari-hari dengan mengaji. Bidang kajian dan materinya beragam, antara lain tajwid, tadarus Alquran, hadist, fikih, shorof, dll.

Dalam hal berpakaian, di sini tentu saja kami  para wanita harus menggunakan pakaian muslimah. Namun, yang unik cara berkerudungnya. Waktu itu ada gaya tersendiri. Bagian tengah harus agak runcing. Memang tidak wajib sih, tapi ini seperti gaya kerudung modisnya santri. Cuma dari dulu aku tak begitu suka mengikuti tren. Jadi suka-suka aku aja. Sekarang gayanya beda lagi kali ya. Tapi terserahlah bebas yang penting syar'i itu prinsipku.

Tak terasa kegiatan pesantren kilat berakhir. Di pertemuan terakhir pengajian, semua santri diberi sertifikat peserta sanlat. Ada beberapa nama santri yang diumumkan dan mendapat sertifikat penghargaan sekaligus predikat Santri Teladan. Aku terkejut karena namakulah yang dipanggil. Alhamdulillah, benar-benar menjadi kenangan terindah.

Foto:dokumen pribadi

Namun, apalah arti sebuah penghargaan kalau ternyata kita tidak dapat mengaplikasikan ilmu agama yang didapat. Yang terpenting dari pengalaman ini adalah pelajaran untuk semaksimal mungkin menggali potensi dan berkarya nyata dalam kehidupan sebenarnya; berusaha menjadi sebaik-baik manusia; mempersembahkan pengabdian tertinggi kepada Allah,  umat Islam, dan masyarakat luas, dengan menjadikan diri manusia bermanfaat bagi sesama.

Demikianlah cerita pengalamanku berkaitan dengan dunia santri. Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2019. Semoga senantiasa berkarya dan memberikan manfaat serta kebaikan dalam memajukan peradaban Islam. 





#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP






Komentar

Ashima Meilla Dzulhijjah mengatakan…
Bangga jadi santri...
Dari santri untuk negeri...
Catatananne@blogspot.com mengatakan…
Insya Allah saya bangga 😇
khofiyaarizki mengatakan…
masyaallah kak, terima kasih untuk memotivasi kami unt terus belajar agama ^^
sedikit masukan kak. kata "dsb" "dll" mungkin sebaiknya dijabarkan.

Tak terasa kegiatan pesantren kilat berakhir.
sebaiknyaDi pertemuan terakhir pengajian, semua santri diberi sertifikat peserta sanlat.

saran saya, sebaiknya diberikan keterangan diawal dulu kak kalau sanlat adalah
singkatan dari pesantren kilat
misal kaya gini, pesantren kilat (sanlat), sekali aja tapi diawal mula munculnya
kata pesantren kilat ^^
Mak 'Nces mengatakan…
Masya Allah...bagus sekali tulisannya
eko endri wiyono mengatakan…
Keren sekali Kakak #semangat
Catatananne@blogspot.com mengatakan…
Terima kasih krisannya teman-teman. Terima kasih sudah membaca
😊😍

Postingan populer dari blog ini

Lorong Kelam

Fiksi oleh Anne Heryane Ilustrasi: www.pixabay.com Bola mata seperti ingin meloncat ke luar dari cangkangnya. Jantung berdegup kencang. Keringat menghujani seluruh tubuh mungil ini.  Mulut refleks menganga. Lekas-lekas kubekap dengan telapak tangan kanan. Benar-benar tak sanggup mempercayai semua ini.  Di sisi kanan labirin yang minim cahaya, beberapa anak berseragam putih abu sedang asyik ngefly . Dua jarum suntik dan sobekan plastik tersimpan tak beraturan di depannya. Beberapa botol miras digeletakkan serampangan. Mereka yang mayoritas lelaki puber itu bersandar lemas pada dinding lorong yang buram.  Ada juga sekitar tiga perempuan usia tanggung selonjoran di samping para lelaki setengah sadar itu. Sesekali mereka berbicara melantur dan terbahak-bahak sendiri. Persis orang sakit jiwa, pekik batinku.  Di sisi kiri lorong yang sedikit menjorok, tersisa ruang kecil berukuran satu kali dua meter. Dua muda-mudi nekad melucuti pakaian seragamnya. ...

Jacko Kutil (Part 1)

(Adaptasi dari Cerita Rakyat Joko Kendil)  oleh Anne Heryane Pada zaman dahulu, berdirilah kerajaan yang sangat besar pada masanya, yakni Kerajaan Novela. Kerajaan ini dipimpin seorang raja bernama Raja Eduardo. Sumber daya alam di kerajaan ini sangat melimpah ruah. Sayangnya, kehidupan rakyatnya jauh dari sejahtera. Mereka hidup dalam kemiskinan dan di bawah kekuasaan pemimpin yang semena-mena. Kekayaan alam di negeri itu hanya dinikmati raja, keluarga istana, para petinggi kerajaan, dan para bangsawan.  Suatu hari Ratu Esmeralda melahirkan seorang putra. Betapa terkejutnya sang raja ketika melihat sosok pangeran yang buruk rupa. Di wajah, leher, dan bagian tubuh lainnya bertebaran kutil-kutil. Melihatnya saja membuat bulu kuduk berdiri.  Raja merahasiakan sosok pangeran yang dipenuhi kutil ini kepada rakyatnya. Ia pun mengancam akan memberikan hukuman mati kepada siapa saja di istana yang membocorkan rahasia ini.  Raja pun memanggil ti...

Masih Adakah Cinta? (Bagian 2)

Romance Fiction Usai berbelanja bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memasak, Merry pun kembali berjalan menuju rumahnya. Ia melewati Boulevard Street. Nama jalan di depan rumahnya, sebuah jalan khusus di kompleks elit yang pemiliknya rata-rata keturunan bangsawan Inggris.  Setelah sampai di rumah dua lantai dengan gaya arsitektur Eropa lama, Merry disambut oleh dua pelayannya berseragam hitam putih. Mereka sedikit membungkukkan badan melihat kedatangannya. Merry membalasnya dengan anggukan dan senyuman.  "July tolong bawa bahan-bahan masakan ini ke dapur. Kamu temani saya nanti masak ya!" serunya kepada seorang pelayan wanita yang berusia setengah baya.  "Baik, Nyonya!" sahut pelayan bertubuh gempal itu.  Merry selalu ingin menghidangkan makanan spesial untuk Andi dengan tangannya sendiri.  "Jessi, tolong kau rapikan meja makan ya.   Jangan lupa beri hiasan bunga mawar di tengahnya. Tambahkan pula dua buah lilin aromatik! " ...