Langsung ke konten utama

Yang Pergi Datang Kembali (Bagian 2)


Derum suara motor di teras rumah membangunkan tidur lelapku. Suamiku sudah pulang rupanya. Memang ia biasa pulang larut malam. Sebelum aku  membukakan pintu ternyata ia sudah masuk. Aku bangkit menyiapkan air minum untuknya.

Lelaki tinggi itu melepaskan helm lalu  membuka sepatu outdoor coklatnya. Ia pun melepas jaket hitam dan menggantungnya di dinding kamar. Diperhatikannya kondisi anak-anak yang tertidur lelap.

Suamiku memang sangat perhatian kepada anak-anak. Luka sekecil apapun yang ada pada tubuh anak-anak, dia akan tahu.

Dia duduk di kamar. Aku menghampirinya. Sebenarnya aku agak ragu menyampaikannya saat itu. Tapi kupikir lebih cepat diketahui lebih baik.

"Pa, sepeda Gery hilang."

"Loh, kenapa bisa? hilang di mana?"

"Di depan warnet, Pa."

Mukanya mengekspresikan amarah mengetahui hal itu.

"Sudah kuduga pasti papa marah," tukasku dalam hati. Persis seperti perasaanku saat pertama mendapat berita itu.

"Benar-benar kurang ajar ya tu anak. Pantesan susah sekali disuruh belajar. Kembali ke warnet lagi rupanya. Ditambah sepeda yang baru dibeli, hilang, keterlaluan!"

Ia menghampiri anak lelakinya itu lalu mengguncang-guncang badannya

"Hey, Gery...Gery...bangun cepat!" teriak suamiku.

Gery tak juga bangun. Ia tidur dengan lelapnya.

Aku menyentuh pundak suamiku.

"Pa, besok saja ngobrolnya. Gery masih tidur. Biarkanlah dulu!" ujarku. Kupegang tangan suamiku dan menuntunnya ke luar kamar.

"Anak tak tau diuntung. Susah payah orang tua membelikannya sepeda. Tak dijaga baik-baik. Bukannya tambah nurut. Malah semakin menjadi-jadi main gamenya."

Dia terus berkata-kata. Aku terdiam mendengarkan omelannya seolah-olah aku lah Gery.

"Sudah papa bilang Si Gery jangan dulu dibeliin sepeda. Tapi Mama keukeuh pengen beliin. Papa tuh tau banget dia belum betul-betul 100 persen berubah"

Suamiku jadi menyalahkanku.

"Pulang kerja,  capek,  dengar berita kok yang tak enak gini, bikin emosi! "

Ia masih saja berceloteh. Aku jadi merasa bersalah karena telah memberitahukan kejadian tak menyenangkan itu padanya saat itu.

"Maaf Pa, pasti segala sesuatu itu ada hikmahnya! " ujarku mencoba menenangkannya.

"Pa, bagaimanapun juga hal ini sudah terjadi. Semoga bisa jadi pelajaran buat Gery dan buat kita juga."

Aku menghela napas.

"Ini teguran Allah. Mungkin kita kurang bersedekah. Mungkin kita kurang bersyukur. Juga, mungkin saja ada yang salah dalam cara kita mendidik anak-anak." terangku mencoba menelisik lebih jauh hikmah kejadian ini.

Suamiku terdiam.

"Sudahlah. Baiknya, kita beristirahat dulu. Nanti kita pikirkan lagi masalah ini," tambahku lagi.

***

Waktu sahur tiba. Kami sekeluarga makan sahur kecuali si kecil.

Usai makan, Papa berbincang dengan Gery. Emosinya sudah mereda.

"Papa sudah sering bilang sama kamu Ger. Jangan main game di warnet lagi karena itu akan bikin kamu malas. Dulu kamu udah janji kan sama papa."

Gery terdiam. Kepalanya menunduk.

"Sepeda kamu juga hilang kan di sana? "

"Iya, Pa!"

"Padahal sepeda itu sudah sangat bermanfaat. Sepeda itu sering kamu pakai buat berangkat ke sekolah. Konsekuensinya kamu berangkat ke sekolah jalan kaki lagi mulai sekarang."

"Iya Pa, maafin Gery, Mah, Pah. Gery ga akan mengulanginya. Gery ga akan ke warnet lagi. Gery juga akan lebih menjaga barang milik Gery sendiri," tutur anak laki-laki itu mengakui kesalahannya.

"Papa harap kali ini kamu benar-benar memegang omongan kamu!"

"Iya, Pa."

Aku pun mendekati mereka berdua.
"Gimana kalau Papa coba mendatangi warnet itu. Kebetulan ini hari Minggu. Siapa tahu ada petunjuk. Barangkali saja masih ada rizki kita." tukasku.

Aku menatap suamiku berharap ia menyetujui saranku.

"Gery bilang dia melihat pelakunya di cctv warnet." tambahku.

Oke papa dan Gery akan ke warnet untuk mengecek cctv itu. Sekalian berkeliling mencari sepeda itu barangkali masih bisa ditemukan.

"Alhamdulillah, semoga saja masih ada rizki kami!." harapku dalam hati.

***

Mentari baru saja naik. Papa dan Gery sudah bersiap pergi menggunakan motor matic merah.

Ada setitik harapan dengan adanya bukti cctv itu. Apa yang menjadi rizki kami tak akan ada yang dapat menghalangi. Jika memang bukan rizki, maka kami pun harus mengikhlaskannya. Segala sesuatunya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Sementara mereka pergi, aku melakukan aktivitas seperti biasa. Mengurus anak-anak dan rumah sederhana ini.

Dalam hati kuterus berdoa agar Allah membukakan seluas-luasnya pintu rizki kepada kami. Juga, agar Dia memasukkan kami ke dalam golongan ahli syukur.

Empat jam berlalu. Mereka pun akhirnya kembali. Aku tak sabar mendengar kabar dari mereka.

Kubukakan pintu.

"Bagaimana, Pa, sudah ketemu pelakunya?"

"Tadi papa lihat cctvnya, pelakunya anak kecil. Kayaknya dia sudah profesional, Mah."

"Oya? "

"Jadi saat mau mengambil sepeda itu, dia memperhatikan situasi dan kondisi sekitarnya. Dia tidak tiba-tiba langsung mengambil. Dia awalnya bolak-balik di teras warnet. Sedikit-sedikit mendekati sepeda lalu mendudukinya. Setelah pasti ga ada orang, dia langsung ke luar sambil mengendarai sepeda itu. Nih ada videonya."

"Benar, Pa. Dia anak kecil. Tapi susah ngelihat wajahnya." ujarku sambil melihat video cctv itu.

"Terus gimana dong, Pa. Lapor polisi ajah,  Pa!" Saranku.

"Ga akan digubris, Mah. Apalagi kalau cuma hilang sepeda. Tahu sendirilah aparat kita kayak gimana. Apa-apa harus pake fulus."

"Benar juga ya," pikirku.

"Kalau sudah dicuri susah nyarinya. Apalagi kalau itu oleh komplotan soalnya biasanya ada penadahnya. Paling juga cepat dijual. Ikhlasin aja lah, mungkin memang bukan rizki kita. "

"Ya sudah, mau bagaimana lagi. Rizki yang sudah ada di tangan kita pun, bisa dengan mudahnya terlepas. Inilah kekuasaan Allah."

Aku merenungi hikmah kejadian ini.

***
(bersambung)

#komunitasODOP
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
















Komentar

Anonim mengatakan…
Tulisannya bagus mbak
https://muhamadsumardialalif.blogspot.com mengatakan…
TULISANNYA BAGUS MBAK

Postingan populer dari blog ini

Lorong Kelam

Fiksi oleh Anne Heryane Ilustrasi: www.pixabay.com Bola mata seperti ingin meloncat ke luar dari cangkangnya. Jantung berdegup kencang. Keringat menghujani seluruh tubuh mungil ini.  Mulut refleks menganga. Lekas-lekas kubekap dengan telapak tangan kanan. Benar-benar tak sanggup mempercayai semua ini.  Di sisi kanan labirin yang minim cahaya, beberapa anak berseragam putih abu sedang asyik ngefly . Dua jarum suntik dan sobekan plastik tersimpan tak beraturan di depannya. Beberapa botol miras digeletakkan serampangan. Mereka yang mayoritas lelaki puber itu bersandar lemas pada dinding lorong yang buram.  Ada juga sekitar tiga perempuan usia tanggung selonjoran di samping para lelaki setengah sadar itu. Sesekali mereka berbicara melantur dan terbahak-bahak sendiri. Persis orang sakit jiwa, pekik batinku.  Di sisi kiri lorong yang sedikit menjorok, tersisa ruang kecil berukuran satu kali dua meter. Dua muda-mudi nekad melucuti pakaian seragamnya. ...

Jacko Kutil (Part 1)

(Adaptasi dari Cerita Rakyat Joko Kendil)  oleh Anne Heryane Pada zaman dahulu, berdirilah kerajaan yang sangat besar pada masanya, yakni Kerajaan Novela. Kerajaan ini dipimpin seorang raja bernama Raja Eduardo. Sumber daya alam di kerajaan ini sangat melimpah ruah. Sayangnya, kehidupan rakyatnya jauh dari sejahtera. Mereka hidup dalam kemiskinan dan di bawah kekuasaan pemimpin yang semena-mena. Kekayaan alam di negeri itu hanya dinikmati raja, keluarga istana, para petinggi kerajaan, dan para bangsawan.  Suatu hari Ratu Esmeralda melahirkan seorang putra. Betapa terkejutnya sang raja ketika melihat sosok pangeran yang buruk rupa. Di wajah, leher, dan bagian tubuh lainnya bertebaran kutil-kutil. Melihatnya saja membuat bulu kuduk berdiri.  Raja merahasiakan sosok pangeran yang dipenuhi kutil ini kepada rakyatnya. Ia pun mengancam akan memberikan hukuman mati kepada siapa saja di istana yang membocorkan rahasia ini.  Raja pun memanggil ti...

Masih Adakah Cinta? (Bagian 2)

Romance Fiction Usai berbelanja bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memasak, Merry pun kembali berjalan menuju rumahnya. Ia melewati Boulevard Street. Nama jalan di depan rumahnya, sebuah jalan khusus di kompleks elit yang pemiliknya rata-rata keturunan bangsawan Inggris.  Setelah sampai di rumah dua lantai dengan gaya arsitektur Eropa lama, Merry disambut oleh dua pelayannya berseragam hitam putih. Mereka sedikit membungkukkan badan melihat kedatangannya. Merry membalasnya dengan anggukan dan senyuman.  "July tolong bawa bahan-bahan masakan ini ke dapur. Kamu temani saya nanti masak ya!" serunya kepada seorang pelayan wanita yang berusia setengah baya.  "Baik, Nyonya!" sahut pelayan bertubuh gempal itu.  Merry selalu ingin menghidangkan makanan spesial untuk Andi dengan tangannya sendiri.  "Jessi, tolong kau rapikan meja makan ya.   Jangan lupa beri hiasan bunga mawar di tengahnya. Tambahkan pula dua buah lilin aromatik! " ...