Lelaki tinggi itu melepaskan helm lalu membuka sepatu outdoor coklatnya. Ia pun melepas jaket hitam dan menggantungnya di dinding kamar. Diperhatikannya kondisi anak-anak yang tertidur lelap.
Suamiku memang sangat perhatian kepada anak-anak. Luka sekecil apapun yang ada pada tubuh anak-anak, dia akan tahu.
Dia duduk di kamar. Aku menghampirinya. Sebenarnya aku agak ragu menyampaikannya saat itu. Tapi kupikir lebih cepat diketahui lebih baik.
"Pa, sepeda Gery hilang."
"Loh, kenapa bisa? hilang di mana?"
"Di depan warnet, Pa."
Mukanya mengekspresikan amarah mengetahui hal itu.
"Sudah kuduga pasti papa marah," tukasku dalam hati. Persis seperti perasaanku saat pertama mendapat berita itu.
"Benar-benar kurang ajar ya tu anak. Pantesan susah sekali disuruh belajar. Kembali ke warnet lagi rupanya. Ditambah sepeda yang baru dibeli, hilang, keterlaluan!"
Ia menghampiri anak lelakinya itu lalu mengguncang-guncang badannya
"Hey, Gery...Gery...bangun cepat!" teriak suamiku.
Gery tak juga bangun. Ia tidur dengan lelapnya.
Aku menyentuh pundak suamiku.
"Pa, besok saja ngobrolnya. Gery masih tidur. Biarkanlah dulu!" ujarku. Kupegang tangan suamiku dan menuntunnya ke luar kamar.
"Anak tak tau diuntung. Susah payah orang tua membelikannya sepeda. Tak dijaga baik-baik. Bukannya tambah nurut. Malah semakin menjadi-jadi main gamenya."
Dia terus berkata-kata. Aku terdiam mendengarkan omelannya seolah-olah aku lah Gery.
"Sudah papa bilang Si Gery jangan dulu dibeliin sepeda. Tapi Mama keukeuh pengen beliin. Papa tuh tau banget dia belum betul-betul 100 persen berubah"
Suamiku jadi menyalahkanku.
"Pulang kerja, capek, dengar berita kok yang tak enak gini, bikin emosi! "
Ia masih saja berceloteh. Aku jadi merasa bersalah karena telah memberitahukan kejadian tak menyenangkan itu padanya saat itu.
"Maaf Pa, pasti segala sesuatu itu ada hikmahnya! " ujarku mencoba menenangkannya.
"Pa, bagaimanapun juga hal ini sudah terjadi. Semoga bisa jadi pelajaran buat Gery dan buat kita juga."
Aku menghela napas.
"Ini teguran Allah. Mungkin kita kurang bersedekah. Mungkin kita kurang bersyukur. Juga, mungkin saja ada yang salah dalam cara kita mendidik anak-anak." terangku mencoba menelisik lebih jauh hikmah kejadian ini.
Suamiku terdiam.
"Sudahlah. Baiknya, kita beristirahat dulu. Nanti kita pikirkan lagi masalah ini," tambahku lagi.
***
Waktu sahur tiba. Kami sekeluarga makan sahur kecuali si kecil.
Usai makan, Papa berbincang dengan Gery. Emosinya sudah mereda.
"Papa sudah sering bilang sama kamu Ger. Jangan main game di warnet lagi karena itu akan bikin kamu malas. Dulu kamu udah janji kan sama papa."
Gery terdiam. Kepalanya menunduk.
"Sepeda kamu juga hilang kan di sana? "
"Iya, Pa!"
"Padahal sepeda itu sudah sangat bermanfaat. Sepeda itu sering kamu pakai buat berangkat ke sekolah. Konsekuensinya kamu berangkat ke sekolah jalan kaki lagi mulai sekarang."
"Iya Pa, maafin Gery, Mah, Pah. Gery ga akan mengulanginya. Gery ga akan ke warnet lagi. Gery juga akan lebih menjaga barang milik Gery sendiri," tutur anak laki-laki itu mengakui kesalahannya.
"Papa harap kali ini kamu benar-benar memegang omongan kamu!"
"Iya, Pa."
Aku pun mendekati mereka berdua.
"Gimana kalau Papa coba mendatangi warnet itu. Kebetulan ini hari Minggu. Siapa tahu ada petunjuk. Barangkali saja masih ada rizki kita." tukasku.
Aku menatap suamiku berharap ia menyetujui saranku.
"Gery bilang dia melihat pelakunya di cctv warnet." tambahku.
Oke papa dan Gery akan ke warnet untuk mengecek cctv itu. Sekalian berkeliling mencari sepeda itu barangkali masih bisa ditemukan.
"Alhamdulillah, semoga saja masih ada rizki kami!." harapku dalam hati.
***
Mentari baru saja naik. Papa dan Gery sudah bersiap pergi menggunakan motor matic merah.
Ada setitik harapan dengan adanya bukti cctv itu. Apa yang menjadi rizki kami tak akan ada yang dapat menghalangi. Jika memang bukan rizki, maka kami pun harus mengikhlaskannya. Segala sesuatunya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Sementara mereka pergi, aku melakukan aktivitas seperti biasa. Mengurus anak-anak dan rumah sederhana ini.
Dalam hati kuterus berdoa agar Allah membukakan seluas-luasnya pintu rizki kepada kami. Juga, agar Dia memasukkan kami ke dalam golongan ahli syukur.
Empat jam berlalu. Mereka pun akhirnya kembali. Aku tak sabar mendengar kabar dari mereka.
Kubukakan pintu.
"Bagaimana, Pa, sudah ketemu pelakunya?"
"Tadi papa lihat cctvnya, pelakunya anak kecil. Kayaknya dia sudah profesional, Mah."
"Oya? "
"Jadi saat mau mengambil sepeda itu, dia memperhatikan situasi dan kondisi sekitarnya. Dia tidak tiba-tiba langsung mengambil. Dia awalnya bolak-balik di teras warnet. Sedikit-sedikit mendekati sepeda lalu mendudukinya. Setelah pasti ga ada orang, dia langsung ke luar sambil mengendarai sepeda itu. Nih ada videonya."
"Benar, Pa. Dia anak kecil. Tapi susah ngelihat wajahnya." ujarku sambil melihat video cctv itu.
"Terus gimana dong, Pa. Lapor polisi ajah, Pa!" Saranku.
"Ga akan digubris, Mah. Apalagi kalau cuma hilang sepeda. Tahu sendirilah aparat kita kayak gimana. Apa-apa harus pake fulus."
"Benar juga ya," pikirku.
"Kalau sudah dicuri susah nyarinya. Apalagi kalau itu oleh komplotan soalnya biasanya ada penadahnya. Paling juga cepat dijual. Ikhlasin aja lah, mungkin memang bukan rizki kita. "
"Ya sudah, mau bagaimana lagi. Rizki yang sudah ada di tangan kita pun, bisa dengan mudahnya terlepas. Inilah kekuasaan Allah."
Aku merenungi hikmah kejadian ini.
***
(bersambung)
#komunitasODOP
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
Komentar