Langsung ke konten utama

Yang Pergi Datang Kembali (Bagian 3)



Keesokan harinya menjelang waktu magrib. Sekelompok anak berjalan menuju ke arah rumah kami.

"Gery... Gery...!" teman-teman Gery memanggil. Gery menyambut mereka.

Aku turut menghampiri dan memerhatikan.

"Ger, ada yang lihat sepeda kamu di desa sebelah," seorang anak mengabarkan.

"Ah, yang bener?"tanya putraku.

"Asli, Ger. Teman aku yang tahu." sahutnya meyakinkan.

"Ya, udah kita ke sana sekarang yuk!"

Aku yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka menyetujui rencana mereka.

"Iya coba dicari sama-sama, ya. Mudah-mudahan bisa ketemu lagi. " ucapku mendukung upaya mereka.

Sejam berikutnya, sebuah motor merah memasuki pekarangan rumah. Berdirilah sosok suamiku di teras rumah. Tumben suamiku pulang cepat, pikirku.

Ayah anak-anakku memasuki rumah. Ia memperhatikan dua anak kami yang balita. Lalu, matanya mencari-cari anak sulungnya.

"Gery,  ke mana,  Mah?

"Dia lagi sama temannya, Asep. Temannya Asep katanya lihat sepeda Gery di desa."

"Oh, ya papa coba susul ya!"

"Iya,  Pa. "

Beberapa jam kemudian. Papa dan Gery pulang

"Mana Pa sepedanya? "

"Jadi begini Mah. Pas papa nanya-nanya di desa. Ada tukang ojek nanya ke papa, lagi apa? Papa jawab aja lagi nyari sepeda merek senator warna putih. Terus dia bilang kebetulan ngeliat sepeda seperti itu di simpan di dekat pangkalan ojek. Terus si Mang ojeknya bertanya-tanya, sepeda siapa ini? Kok ada di sini malam-malam? Malam itu hari Sabtu, pas kejadian hilangnya sepeda. Terus si Mang Ojek itu ngebawa sepeda ke kantor Desa. Habis itu, paginya ada anak kecil nyari-nyari sepeda. Si Mang Ojek kenal anak itu adalah anak temannya yang sudah meninggal. Mang Ojek menyarankan agar besok pagi ajah ke kantor desa. Papa pun mengiyakan. Jadi, paling besok pagi-pagi sebelum berangkat kerja mencoba ke sana," paparnya panjang kali lebar.

"Oh,  begitu ya, Pa. Alhamdulillah,  setidaknya ada harapan Pa."

"Iya, Mah. Kalau memang masih rizki kita. Insya Allah ga akan ke mana-mana. "
Aku mengangguk dan tersenyum penuh harap.

***
Pagi-pagi Papa berangkat ke kantor desa. Iya menanyakan perihal sepeda itu kepada pegawai di kantor desa.

"Kemarin memang sepeda itu ada di sini,  Pak. Tapi ada anak kecil yang nyariin. Malah anak kecil itu mau mengambil sepeda putih kepunyaan anak sekolah di SD sebelah. Tapi keburu saya tegur, saya tahu persis itu punya anak SD di Desa. Anak itu mengatakan itu sepedanya. Lalu,  saya bawalah sepeda putih yang dititipkan tukang ojek. Saya bilang ini mungkin sepeda kamu? Anak itu menjawab oh iya. Malah sampai nangis-nangis dia terus mengatakan sepeda itu punyanya. Ya sudah saya kasihin aja Pak." jelasnya.

"Oh,  baiklah. Makasih banyak ya, Pak.  Informasinya."

"Iya,  sama-sama! " sahutnya.

Semuanya semakin terang. Ada satu hal yang menjadi kunci, yaitu Bapak tukang ojek yang mengenal anak itu dan tahu tempat tinggalnya, pikir suami.

Malam harinya, suamiku menemui tukang ojek itu lagi.

"Pak,  saya mau minta tolong diantarkan ke rumah anak yang Bapak bilang ngambil sepeda itu. Ternyata memang itulah sepeda kepunyaan anak saya, Pak." ujar suamiku.

"Oh begitu ya,  Pak. Sebetulnya saya tak tahu persis lokasi rumahnya. Saya tahunya daerahnya saja." terangnya.

Suamiku mengangguk-angguk.

"Iya ga apa-apa pak kita nanya-nanya ajah nanti ke warga desa. Mohon bantuannya ya, Pak!" pintanya.

"Iya,  insya Allah!" imbuhnya merespon permintaan suami dengan positif.

***
Malam berganti siang. Mentari menyapa pagi dengan senyuman. Cahayanya memancarkan harapan. Menyenangkan mata dan hati para penghuni semesta.

Pagi sekali, Papa dan Gery berangkat menuju rumah anak itu. Mereka ditemani Bapak tukang ojek yang mengenalnya.

 Dalam perjalanan menuju rumah itu,  suami dan bapak tukang ojek berbincang.
 ‎
"Dia itu adalah anak teman saya, Pak. Ayahnya sudah meninggal. Ia tinggal dengan ibunya. Saat tahu ia membawa sepeda memang saya merasa curiga ada apa-apa? Tahunya benar perasaan saya," imbuhnya.

Suami mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Iya, Pak. Saya tidak akan melakukan apa-apa kok pada anak itu. Saya cuma mau mengambil sepeda anak saya saja," ungkap suamiku.

Bapak tukang ojek manggut-manggut.

Mereka bertanya kepada warga sekitar tentang lokasi rumah anak itu sampai tibalah mereka di depan rumahnya.

Kondisi rumah sepi.

"Tok tok tok, Assalammualaikum!" seru Bapak tukang ojek.

Tak lama kemudian seorang anak perempuan berusia empat tahun keluar. Ia memandangi tiga sosok orang yang mendatangi rumahnya.

"Mau ke siapa, Pak?" tiba-tiba dari arah belakang seorang ibu bertanya.

"Mau ke istrinya Pak Ujang almarhum." jawab bapak itu.

"Oh lagi dagang di pasar, Pak, di rumah cuma ada anak-anaknya. Memang kasihan mereka, kurang perhatian. " ujar tetangganya.

"Memangnya ada apa, Pak? "

"Ada perlu sama anaknya ajah, Bu!"

"Oh,  begitu. Ibu tersebut menggedor-gedor pintu. Ia lalu membuka pintu yang tak terkunci. Dilihatnya bocah laki-laki dengan pakaian lusuh masih tidur dengan pulasnya.

"Hei,  bangun. Ada yang nyari kamu, De!"
Ujar ibu itu.

Bocah itu terbangun. Ia mengernyitkan dahi.

"Tuh, yang punya sepeda datang," kata Bapak ojek.

"Saya mah ga nyuri kok,  Pak. Cuma pinjam aja! " tuturnya dengan nada cemas. Ada rasa takut tersimpan di hatinya.

"Di mana sekarang sepedanya De?" ujar suamiku.

"Jauh Pak, di rumah teman saya," ungkapnya.

"Ya udah,  yuk ke sana bareng,  nanti dianterin." timpal suamiku

"Eh nanti deng dilihat dulu, Pak!"

"Jangan nanti-nanti. Sekarang ajah!" ucap suamiku tegas.

Anak itu turun dari kasur. Keluar rumah berjalan ke belakang rumahnya dekat masjid. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah.

Suamiku dan Gery membuntutinya.
Anak itu lalu masuk ke belakang rumah temannya. Dan akhirnya iya mengeluarkan sepeda itu dari tempat persembunyiannya.

Suamiku merasa lega.

"Tuh,  Ger. Bawa sepedanya!" titah suamiku.

Gery membawa sepeda putih miliknya itu lalu mengendarainya. Ada rasa senang dihati anak lelaki itu.

Seperti janji suamiku bahwa suamiku tidak akan melakukan apa-apa terhadap anak.  Bagaimana pun itu bukan sepenuhnya salahnya. Mungkin kondisilah yang membuatnya berlaku demikian.

Suamiku dan Gery kemudian pulang. Ia berterima kasih kepada Bapak tukang ojek yang telah membantunya. Ia pun memberi uang tanda terima kasih.

Sesampainya di rumah aku senang tatkala Papa dan Gery pulang membawa sepedanya kembali. Aku kembali menegaskan kepada putraku agar lebih hati-hati lagi.

"Ini adalah rahasia Allah. Rizki bisa datang dan pergi tak diduga. Rizki yang sempat pergi pun jika memang Allah telah menetapkan menjadi milik kita maka rizki pun akan datang kembali. Alhamdulillah," bisik hatiku bersyukur denngan hikmah dari kejadian ini.

***

Sekian

#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
#GrupKairo




Komentar

Lilis Fauzi-Odop7 mengatakan…
Keren blog n tulisannya kak, salam dr kota Tokyo y 😊🤝
Aysafitri114 mengatakan…
Kalau masih rezeki pasti kembali
Semangat 🤗
Catatananne@blogspot.com mengatakan…
Terima kasih kakak sudah berkunjung. Salam juga dari Bandung ka
Edelwise.travelrunner mengatakan…
Gerry, saya ingat ucing telon saya yang dibawa lari orang, 🤭
Salam hangat dari Tokyo, Ka.😘

Postingan populer dari blog ini

Lorong Kelam

Fiksi oleh Anne Heryane Ilustrasi: www.pixabay.com Bola mata seperti ingin meloncat ke luar dari cangkangnya. Jantung berdegup kencang. Keringat menghujani seluruh tubuh mungil ini.  Mulut refleks menganga. Lekas-lekas kubekap dengan telapak tangan kanan. Benar-benar tak sanggup mempercayai semua ini.  Di sisi kanan labirin yang minim cahaya, beberapa anak berseragam putih abu sedang asyik ngefly . Dua jarum suntik dan sobekan plastik tersimpan tak beraturan di depannya. Beberapa botol miras digeletakkan serampangan. Mereka yang mayoritas lelaki puber itu bersandar lemas pada dinding lorong yang buram.  Ada juga sekitar tiga perempuan usia tanggung selonjoran di samping para lelaki setengah sadar itu. Sesekali mereka berbicara melantur dan terbahak-bahak sendiri. Persis orang sakit jiwa, pekik batinku.  Di sisi kiri lorong yang sedikit menjorok, tersisa ruang kecil berukuran satu kali dua meter. Dua muda-mudi nekad melucuti pakaian seragamnya. ...

Jacko Kutil (Part 1)

(Adaptasi dari Cerita Rakyat Joko Kendil)  oleh Anne Heryane Pada zaman dahulu, berdirilah kerajaan yang sangat besar pada masanya, yakni Kerajaan Novela. Kerajaan ini dipimpin seorang raja bernama Raja Eduardo. Sumber daya alam di kerajaan ini sangat melimpah ruah. Sayangnya, kehidupan rakyatnya jauh dari sejahtera. Mereka hidup dalam kemiskinan dan di bawah kekuasaan pemimpin yang semena-mena. Kekayaan alam di negeri itu hanya dinikmati raja, keluarga istana, para petinggi kerajaan, dan para bangsawan.  Suatu hari Ratu Esmeralda melahirkan seorang putra. Betapa terkejutnya sang raja ketika melihat sosok pangeran yang buruk rupa. Di wajah, leher, dan bagian tubuh lainnya bertebaran kutil-kutil. Melihatnya saja membuat bulu kuduk berdiri.  Raja merahasiakan sosok pangeran yang dipenuhi kutil ini kepada rakyatnya. Ia pun mengancam akan memberikan hukuman mati kepada siapa saja di istana yang membocorkan rahasia ini.  Raja pun memanggil ti...

Masih Adakah Cinta? (Bagian 2)

Romance Fiction Usai berbelanja bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memasak, Merry pun kembali berjalan menuju rumahnya. Ia melewati Boulevard Street. Nama jalan di depan rumahnya, sebuah jalan khusus di kompleks elit yang pemiliknya rata-rata keturunan bangsawan Inggris.  Setelah sampai di rumah dua lantai dengan gaya arsitektur Eropa lama, Merry disambut oleh dua pelayannya berseragam hitam putih. Mereka sedikit membungkukkan badan melihat kedatangannya. Merry membalasnya dengan anggukan dan senyuman.  "July tolong bawa bahan-bahan masakan ini ke dapur. Kamu temani saya nanti masak ya!" serunya kepada seorang pelayan wanita yang berusia setengah baya.  "Baik, Nyonya!" sahut pelayan bertubuh gempal itu.  Merry selalu ingin menghidangkan makanan spesial untuk Andi dengan tangannya sendiri.  "Jessi, tolong kau rapikan meja makan ya.   Jangan lupa beri hiasan bunga mawar di tengahnya. Tambahkan pula dua buah lilin aromatik! " ...