Langsung ke konten utama

Yang Pergi Datang Kembali (Bagian 1)

(Kisah Nyata)

foto: doc. Pribadi

Azan magrib berkumandang. Waktu yang amat ditunggu-tunggu.

"Alhamdulillah, saatnya berbuka," ujarku sambil mengambil tajil dari dapur.

Dua anak balitaku yang berusia lima dan dua tahun membuntutiku. Pikiranku lalu beralih ke putra sulungku yang berusia 11 tahun. Dia memang sangat senang main di luar.

"Ke mana ya Gery?" tuturku gelisah.

Sampai waktu berbuka puasa, ia tak kunjung pulang ke rumah. Biasanya, sore ia pulang untuk mandi. Ada rasa khawatir, takut kenapa-kenapa.

Tak berselang lama

"Mah Gery... Mah Gery...!" Terdengar panggilan sekumpulan anak laki-laki berusia tanggung, antara 8-12 tahun.

Panggilan itu berasal dari arah depan rumah. Aku pun melangkah menuju teras rumah.

"Ya,  ada apa?"

"Mah Gery, itu Gery ga mau pulang. Dikasih minum buat buka puasa juga ga mau." kata salah seorang anak.

Belum bertanya apa alasannya. Anak lain sudah berujar lagi, "Sepedanya hilang."

Aku tersentak, ingin marah tapi tak bisa.

"Di mana hilangnya?" tanyaku tetap dengan nada suara rendah.

"Di depan warnet, Graha (Kompleks perumahan elit di seberang jalan)."

Emosiku sampai di ubun-ubun.

"Astagfirullah, keterlaluan ya anak itu. Sudah dibilang jangan main game lagi di warnet. Bukannya diam di rumah. Banyakin ngaji di bulan Ramadan. Malah ke warnet. Akibatnya, hilanglah sepeda," gerutu batinku kesal.

"Di mana Gery sekarang? " tanyaku lagi.

"Itu di kompleks sebelah, BKI. " jawab seorang anak.

"Pasti dia takut aku marahi. Pertama, karena dia berbohong, bilangnya ga pernah main game lagi. Kedua, sepeda yang baru dibeli tiga bulan lalu ternyata hilang. Rasanya aku ingin menelannya bulat-bulat." ucapku dalam hati.

"Tolong suruh pulang Gerynya ya!" seruku.

"Udah disuruh pulang tapi dia ga mau takut dimarahin katanya."

"Ya, bilangin aja kata mamanya, 'ga apa-apa' gitu. Makasih udah ngasih tahu, ya!"

"Iya," Anak-anak itu pun balik badan. Dan berjalan menjauh. "

Aku pun masuk kembali ke rumah sambil menggiring kedua anak balitaku yang sedari tadi diam memperhatikan tapi tak mengerti apa yang terjadi.

Rasa jengkel belum reda.

"Aku tak habis pikir dengan anak itu. Kenapa dia tak mau mendengarkan kata-kataku dan juga ayahnya. Dengan cara apalagi aku mesti mendidiknya, ya Allah." Aku menarik napas dalam-dalam.

Sebagai ibu, aku telah banyak melahap teori-teori parenting, mengoleksi beberapa buku teori mendidik anak. Namun, aku masih saja tak mampu mendidiknya dengan baik. Kumohon berilah kami titik terang, Rabb!

Satu jam berlalu. Dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Sementara aku sendiri tak mau repot mencari-carinya. Apalagi dengan membawa kedua adiknya. Biarlah dia pulang atas kesadarannya sendiri.

***

Sekitar pukul 7.30 malam, seorang anak laki-laki berkaus biru tiba-tiba masuk. Mukanya cemberut. Dia duduk di hadapanku.

"Eh.. Eh..Jam segini baru nongol. Dari mana ajah sih? Badan kotor sama bau gitu. Ayo, mandi dulu sana!"

Ia beranjak dari tempat duduk lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan badan.

Usai membersihkan diri dan menggunakan pakaian bersih. Aku menyuruhnya untuk segera makan. Sebab, sama sekali dia belum berbuka puasa.

Setelah ia menghabiskan makanannya, aku mengajaknya berbincang.
"Kamu ini kenapa sih, Ger?  Udah dikasih tau sama orang tua jangan main game. Masih aja begitu. Ngapain sih kamu ke sana?"

"Cuma lihatin teman ajah mah,  ga main kok!" dalihnya.

Emangnya ga ada kerjaan lain ya, ngelihatin orang maen game. Ga ada manfaatnya, tau! "

"Sama siapa ke sana?"

"Sama Doni." jawabnya

Yang mana pula anaknya, pikirku.

"Pokoknya mama ga suka kalau kamu masih datang ke warnet itu. Ingat, jangan deketin teman yang suka ngegame di warnet, ya!"

Gery mengangguk.

Terus, benarkah yang teman-kamu katakan kalau sepeda putihmu itu hilang?"

"Bener mah!" jawabnya lirih. Kepalanya tertunduk lesu.

"Bagus! Dari dulu pengen sepeda,  pas udah punya dihilangin. Coba kamu nurut sama mama. Ga bakal sepeda kamu dicuri orang."

Ada penyesalan dan rasa bersalah di wajahnya.

"Kalau sudah gini,  bagaimana coba?" Merasa sesak.

Kami telah berkorban menyisihkan uang untuk membelikan sepeda yang sejak lama diidamkannya. Namun, anak itu ternyata tidak menjaga barang berharganya dengan baik.  Ini murni kesalahan anakku sendiri yang bersikap sembrono. Padahal sebagai orang tua kami Sudah sering menasihatinya.

Ah, rasanya mustahil mengharapkan kembali barang yang sudah dicuri. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.  Aku termenung.

"Tunggu sampai papa kamu tahu hal ini! Sekarang, kamu tidurlah, sudah larut malam!" tegasku.

Anak laki-laki dengan tinggi 130 cm itu, bergegas ke kamar tidur lalu merebahkan badannya di atas kasur. Kuperhatikan sebentar-sebentar dia mengubah posisi tubuhnya saat tidur.  Dia sepertinya gelisah.

***

(bersambung)

#KomunitasODOP
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost

Komentar

Sulaeman Daud mengatakan…
Maaf kak, kalo berkenan komentar Penggambaran karakter nya kurang deskripsi jadi, dominan matematis seperti ukuran tubuh dan usia saja.
Hana mengatakan…
"Ah, rasanya mustahil mengharapkan kembali barang yang sudah dicuri. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. " Aku termenung.

Kalimat ini bisa dijadikan kalimat tidak langsung aja mbak, karena penceritaannya juga pake sudut pandang orang pertama yaitu mbak sendiri dan hanya diomongkan dalam hati. Apalagi setelahnya juga ada percakapan lagi dari orang yang sama. Sekadar saran saja :)

Wah, ini bersambung ya, semangat mbak
Lia Anelia mengatakan…
Wah cerita bersambung ya... ayo semangat bikin lanjutannya lagi Mbak. 🥰💪
Habibie mengatakan…
semangat bercerita, lanjutkan terus :')
Lusi Dan mengatakan…
penasaran sama lanjutannya
Kiletters mengatakan…
Cerita nyata ya kak, bagus. Saya masih kurang dalam hal penulisan, tapi saya suka jarak antar kalimat dan paragrafnya, rapi menurutku jadi enak bacanya. Semangat kak!
Renita Oktavia mengatakan…
Hohoho kirain langsung selesai ceritanya. Ternyata bersambung 👍
Arhana mengatakan…
Cerbungnya menarik Mbak. Tapi untuk bagian ini sebaiknya direvisi ya...

"Iya, anak-anak itu pun balik badan. Dan berjalan menjauh. "
Menjadi,
"Iya." Anak-anak itu pun balik badan dan berjalan menjauh.
Catatananne@blogspot.com mengatakan…
Masya Allah, banyak kritik saran yang membangun.Terima kasih teman-teman. Insya Allah saya perbaiki lagi.

Postingan populer dari blog ini

Lorong Kelam

Fiksi oleh Anne Heryane Ilustrasi: www.pixabay.com Bola mata seperti ingin meloncat ke luar dari cangkangnya. Jantung berdegup kencang. Keringat menghujani seluruh tubuh mungil ini.  Mulut refleks menganga. Lekas-lekas kubekap dengan telapak tangan kanan. Benar-benar tak sanggup mempercayai semua ini.  Di sisi kanan labirin yang minim cahaya, beberapa anak berseragam putih abu sedang asyik ngefly . Dua jarum suntik dan sobekan plastik tersimpan tak beraturan di depannya. Beberapa botol miras digeletakkan serampangan. Mereka yang mayoritas lelaki puber itu bersandar lemas pada dinding lorong yang buram.  Ada juga sekitar tiga perempuan usia tanggung selonjoran di samping para lelaki setengah sadar itu. Sesekali mereka berbicara melantur dan terbahak-bahak sendiri. Persis orang sakit jiwa, pekik batinku.  Di sisi kiri lorong yang sedikit menjorok, tersisa ruang kecil berukuran satu kali dua meter. Dua muda-mudi nekad melucuti pakaian seragamnya. Di balik tirai tipi

Jacko Kutil (Part 1)

(Adaptasi dari Cerita Rakyat Joko Kendil)  oleh Anne Heryane Pada zaman dahulu, berdirilah kerajaan yang sangat besar pada masanya, yakni Kerajaan Novela. Kerajaan ini dipimpin seorang raja bernama Raja Eduardo. Sumber daya alam di kerajaan ini sangat melimpah ruah. Sayangnya, kehidupan rakyatnya jauh dari sejahtera. Mereka hidup dalam kemiskinan dan di bawah kekuasaan pemimpin yang semena-mena. Kekayaan alam di negeri itu hanya dinikmati raja, keluarga istana, para petinggi kerajaan, dan para bangsawan.  Suatu hari Ratu Esmeralda melahirkan seorang putra. Betapa terkejutnya sang raja ketika melihat sosok pangeran yang buruk rupa. Di wajah, leher, dan bagian tubuh lainnya bertebaran kutil-kutil. Melihatnya saja membuat bulu kuduk berdiri.  Raja merahasiakan sosok pangeran yang dipenuhi kutil ini kepada rakyatnya. Ia pun mengancam akan memberikan hukuman mati kepada siapa saja di istana yang membocorkan rahasia ini.  Raja pun memanggil tiga orang pandai dan

Puing-Puing Hati

Cerbung oleh Anne Heryane indipendent. co. uk "Pergi dari sini. Aku sudah muak hidup sama kamu!"  Nadya membuncahkan kekesalannya kepada ayah dari putra tersayangnya yang masih balita itu.  Lelaki berperawakan tinggi kurus itu hanya duduk termenung, meresapi ucapan wanita yang telah mendampinginya selama lima tahun. Kata-kata itu begitu menohok ulu hati. Beberapa potong baju kemeja dan celana panjang dilemparkan Nadya ke arahnya. "Nih,  bawa semua baju kamu. Aku ingin kita cerai!" jerit wanita berusia 30 tahun itu.  Bagaikan disambar petir, ucapan Nadya membuat Firman terhenyak. Dadanya sesak. Namun, ia harus menghadapinya. Lelaki itu sadar bahwa ia selama ini belum mampu membahagiakan istrinya. Ia bergeming dengan perlakuan istrinya. Rasanya tak percaya jika rumah tangganya diterjang amukan badai sedahsyat ini.  Nadya benar-benar kalut. Ia melontarkan semua rasa yang selama ini singgah. Ada rasa sedih, kesal, benci, marah. Ia tela