Langsung ke konten utama

Mahasiswa Bergerak

Curahan Hati Emak
 Peduli Bangsa




Media sosial sedang dihebohkan dengan berita pergerakan mahasiswa secara serentak di seluruh Indonesia. Aksi mahasiswa ini terjadi pada hari Senin, 23 September 2019. Daerah terlaksananya aksi tersebut antara lain di Bandung,  Jakarta,  Karawang,  Cirebon,  Jember,  Riau,  Lampung, Yogyakarta, Makasar, Papua dll. 

Para mahasiswa melakukan aksi dengan turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Mereka mendesak presiden untuk menolak disahkannya RKUHP,  UU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU pertanahan yang dinilai memojokkan rakyat. 



Aksi ini menimbulkan bentrokan antara aparat dan mahasiswa. Tak sedikit mahasiswa menjadi korban keberingasan aparat yang taat rezim zalim ini. 

Yang mengherankan, tak ada pemberitaan di televisi tentang hal ini seakan dunia pertelevisian mati suri berjamaah. 
 Peristiwa bersejarah yang menyerupai aksi mahasiswa tahun 1998 ini tak seharusnya ditutup-tutupi. Sebab ini adalah momen penting yang dapat mengubah nasib bangsa. 

Mengetahui berita aksi mahasiswa tersebut,  aku merasa terharu sekaligus bangga. Sebab,  masih ada keberanian dan kepedulian di hati para generasi muda dalam membela nasib saudara-saudara setanah air. Bagaimanapun, itu lahir dari sebuah kesadaran untuk memperjuangkan keadilan di negeri yang merapuh ini. 

Sebagai seorang ibu, apalah dayaku. Hanya bisa mengaduh saat harga sembako terus melonjak naik; hanya mampu menjerit saat melihat ketidakadilan di negeri ini semakin menjadi-jadi; hanya bisa berduka tatkala ribuan saudara sebangsa dan setanah air menjadi korban pembakaran hutan yang asapnya menyesakkan dada. 

Masihkah mereka bilang kami baik-baik saja? Sementara jutaan orang menderita ISPA karenanya. Tak hanya itu,  ada nyawa warga turut melayang disebabkan tragedi memilukan ini. Pada saat itu pula, di sana pemimpin negeri bersenang hati memposting video tentang kegiatannya di pagi hari,  berjalan-jalan menikmati udara segar. Ah, di mana kah empati? Ke manakah nurani?  Tidakkah ia merasakan penderitaan rakyatnya?

Wahai penerus bangsa, apa yang kalian lakukan saat ini amat luar biasa. Kami menyimpan sebuah harapan di pundak kalian agar sang ibu pertiwi kembali tersenyum.

Suarakanlah terus aspirasi kami rakyat Indonesia yang bahkan untuk melantangkannya pun tenggorokan kami tercekat. Bergeraklah terus mahasiswa Indonesia demi memperoleh keadilan hakiki! 

Semoga negeri ini menjadi negeri yang adil dan makmur. Doa kami menyertai langkah-langkah kalian. Lindungilah dan selamatkanlah adik-adik kami, para mahasiswa yang bergerak ini, Ya Allah! Amiin


#KomunitasOdop
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7




Komentar

eko endri wiyono mengatakan…
Mantap kak #semangat
Fentaqul mengatakan…
Aq masih bingung masalahnya seperti apa
Fentaqul mengatakan…
Aq masih bingung permasalahan kasus ini
akhybrewok mengatakan…
Perjuangan masih panjang
Mak 'Nces mengatakan…
Mewakilii suara hati saya kakak
Najaaa mengatakan…
Aku pun bangga melihat mahasiswa mau berjuang menyambung aspirasi rakyat.
Blogger Surabaya mengatakan…
Dan saya juga hanya mampu berdoa semoga Indonesia bisa kembali tenang tanpa ada kerusuhan seperti 21 tahun yang lalu. #sedih
temansenja.com mengatakan…
miris.. sedih.. dan heran kenapa mereka mbuat aturan begitu..
Maftuha mengatakan…
Mantap nih... Mnyuarakan melalui tulisan
Anonim mengatakan…
Memberikan aspirasi lewat tulisan. Keren banget
Novita mengatakan…
Pantang menyerah
pamorsinta mengatakan…
semangat kak...
Catatananne@blogspot.com mengatakan…
Terima kasih sudah berkunjung teman-teman
khofiyaa rizki mengatakan…
hidup mahasiswaa.. hidup emak emak.
Mardha Umagapi mengatakan…
Umur panjang perjuangan

Postingan populer dari blog ini

Lorong Kelam

Fiksi oleh Anne Heryane Ilustrasi: www.pixabay.com Bola mata seperti ingin meloncat ke luar dari cangkangnya. Jantung berdegup kencang. Keringat menghujani seluruh tubuh mungil ini.  Mulut refleks menganga. Lekas-lekas kubekap dengan telapak tangan kanan. Benar-benar tak sanggup mempercayai semua ini.  Di sisi kanan labirin yang minim cahaya, beberapa anak berseragam putih abu sedang asyik ngefly . Dua jarum suntik dan sobekan plastik tersimpan tak beraturan di depannya. Beberapa botol miras digeletakkan serampangan. Mereka yang mayoritas lelaki puber itu bersandar lemas pada dinding lorong yang buram.  Ada juga sekitar tiga perempuan usia tanggung selonjoran di samping para lelaki setengah sadar itu. Sesekali mereka berbicara melantur dan terbahak-bahak sendiri. Persis orang sakit jiwa, pekik batinku.  Di sisi kiri lorong yang sedikit menjorok, tersisa ruang kecil berukuran satu kali dua meter. Dua muda-mudi nekad melucuti pakaian seragamnya. Di balik tirai tipi

Jacko Kutil (Part 1)

(Adaptasi dari Cerita Rakyat Joko Kendil)  oleh Anne Heryane Pada zaman dahulu, berdirilah kerajaan yang sangat besar pada masanya, yakni Kerajaan Novela. Kerajaan ini dipimpin seorang raja bernama Raja Eduardo. Sumber daya alam di kerajaan ini sangat melimpah ruah. Sayangnya, kehidupan rakyatnya jauh dari sejahtera. Mereka hidup dalam kemiskinan dan di bawah kekuasaan pemimpin yang semena-mena. Kekayaan alam di negeri itu hanya dinikmati raja, keluarga istana, para petinggi kerajaan, dan para bangsawan.  Suatu hari Ratu Esmeralda melahirkan seorang putra. Betapa terkejutnya sang raja ketika melihat sosok pangeran yang buruk rupa. Di wajah, leher, dan bagian tubuh lainnya bertebaran kutil-kutil. Melihatnya saja membuat bulu kuduk berdiri.  Raja merahasiakan sosok pangeran yang dipenuhi kutil ini kepada rakyatnya. Ia pun mengancam akan memberikan hukuman mati kepada siapa saja di istana yang membocorkan rahasia ini.  Raja pun memanggil tiga orang pandai dan

Puing-Puing Hati

Cerbung oleh Anne Heryane indipendent. co. uk "Pergi dari sini. Aku sudah muak hidup sama kamu!"  Nadya membuncahkan kekesalannya kepada ayah dari putra tersayangnya yang masih balita itu.  Lelaki berperawakan tinggi kurus itu hanya duduk termenung, meresapi ucapan wanita yang telah mendampinginya selama lima tahun. Kata-kata itu begitu menohok ulu hati. Beberapa potong baju kemeja dan celana panjang dilemparkan Nadya ke arahnya. "Nih,  bawa semua baju kamu. Aku ingin kita cerai!" jerit wanita berusia 30 tahun itu.  Bagaikan disambar petir, ucapan Nadya membuat Firman terhenyak. Dadanya sesak. Namun, ia harus menghadapinya. Lelaki itu sadar bahwa ia selama ini belum mampu membahagiakan istrinya. Ia bergeming dengan perlakuan istrinya. Rasanya tak percaya jika rumah tangganya diterjang amukan badai sedahsyat ini.  Nadya benar-benar kalut. Ia melontarkan semua rasa yang selama ini singgah. Ada rasa sedih, kesal, benci, marah. Ia tela