"Kamu ini kenapa sih selalu begitu. Yang bener makannya bisa ga sih. Disuruh makan saja susahnya minta ampun. Apa sulitnya sih tinggal kunyah ajah terus telen kunyah terus telen. Diemut terus makanannya, mau rusak giginya? Udah item-item gituh. Makan ajah banyak nawar, banyak nego. Kalo gak mau diurus ya udah, ibu biarin sekalian. Kalo gak diabisin makanannya, ibu pokoknya gak akan kasih uang jajan. Bikin jengkel amat sih!" Teriak sang ibu kepada anak perempuannya yang masih duduk di taman kanak-kanak.
Kata-kata yang meluncur dari mulutnya bak kereta api yang sulit berhenti. Sang anak hanya terdiam. Mencoba terus mencerna setiap kata yang ditujukan padanya.
Ia menatap dengan raut muka sedih. Matanya berkaca-kaca menatap ekspresi sang ibu berikut racauannya yang bagaikan singa mengaum dan hendak menerkamnya.
Hati sang anak kala itu hancur. Iya tak menyangka ibu yang telah melahirkannya tiba-tiba saja mengeluarkan tanduk merahnya hanya karena ia menyendok makanan lalu makanan itu jatuh berserakan. Juga, hanya karena ia merasa cukup kenyang sehingga ingin menyudahi aktivitas makannya. Walaupun ia melihat masih banyak makanan di atas piring yang disodorkan ibunya.
Kicauan burung dan kukuruyuk ayam masih terdengar di pagi yang sebenarnya cerah. Namun, ibu dan anak itu merasakan pagi itu seolah diserang amukan badai dan petir yang menyambar-nyambar.
Sang ibu tampak puas meluapkan amarahnya kepada sang anak. Ia terus mengomel dan meneriaki sang anak. Semakin ia menuruti kekesalannya semakin keras ia berbicara. Jauh di lubuk hatinya sesungguhnya ia merasa kecewa terhadap dirinya sendiri. Ia merasa gagal menjadi ibu.
Badai agak mereda. Ia pun menyuruh sang anak segera berangkat ke sekolah.
"Udah sanah berangkat, udah siang!" ujar sang ibu dengan nada bicara yang kurang bersahabat.
Gadis kecil berseragam kotak-kotak itu melangkah dengan gontai. Bola matanya tenggelam oleh air mata. Senyum manis yang biasanya mengembang saat berangkat ke sekolah terbenam dalam luka di hatinya. Ia merasakan mendung di pagi yang cerah. Semangatnya pupus.
Beberapa lama kemudian, ada rasa penyesalan menyelinap di hati sang ibu. Ia merasa kasihan kepada anaknya tersayang yang sudah ia marahi habis-habisan. Wanita itu tersadar bahwa ia telah melakukan kesalahan karena telah menyakiti anaknya.
Ia lalu menuju ke sekolah taman kanak-kanak untuk menyusul anaknya yang pergi sendiri. Memang, letak sekolah itu tak begitu jauh. Ia masuk ke sekolah itu sambil menggendong anak bungsunya yang masih batita.
Tampaklah sang anak duduk termenung dengan mata yang sembab. Ia menyandarkan kepalanya di atas tangan yang dilipatnya di atas meja. Seorang ibu lain yang sedang menunggui anaknya berkata padanya bahwa saat masuk ke kelas anak perempuannya menangis. Hati sang ibu pun semakin merasa bersalah.
Wanita itu melihat anaknya hanya terdiam. Seharusnya gilirannya belajar membaca bersama gurunya. Namun, ia sedang tak ingin membaca. Hatinya berduka.
Perlahan sang ibu mendekati anaknya. Ia lalu menyodorkan uang jajan. Sang anak pun agak ragu menerima uang itu dari genggaman tangan sang ibu. Ia menatap bola mata sang ibu seakan tak percaya. Lalu , sang ibu memberikan senyuman terbaik kepada gadis mungilnya itu.
Ia pun memeluk anaknya erat sekali. Tangannya reflek mengelus-elus punggungnya. "Maafkan ibu, ya Nak!", bisiknya. Sang anak menganggukkan kepalanya. Ia menyunggingkan bibirnya. Senyumnya merekah. Wajah cantik si gadis kecil mulai berbinar kembali. Betapa bahagianya hati sang ibu melihat kembali keceriaan di wajah putri kecilnya itu.
***
Inilah drama antara ibu dan anak. Kejadian ini benar-benar kualami beberapa hari yang lalu pada suatu pagi. Entah apa jadinya jika aku tak menyusul Putri kesayanganku itu. Aku telah membunuh semangat dan keceriaannya di sekolah.
Sebagai seorang ibu yang kesehariannya adalah mengurus anak-anaknya, tentu tak luput dari kesalahan. Ya, kuakui telah banyak kesalahan yang kulakukan kepada anak-anakku. Yang masih sulit kukendalikan adalah rasa kesal dan amarah. Astagfirullahhaladzzim.
Menurut hasil penelitian, teriakan atau bentakan itu dapat mematikan sel-sel otak anak dan memberikan efek jangka panjang yang buruk terhadap anak. Adapun dampaknya yakni
- Anak akan menjadi minder dan takut mencoba hal-hal baru.
- Anak tumbuh menjadi pribadi yang peragu dan tidak percaya diri
- Anak akan memiliki sifat pemarah dan egois
- Anak cenderung memiliki sifat menantang, keras kepala dan suka membantah nasehat orangtua.
- Anak akan memiliki pribadi yang tertutup
- Anak cenderung apatis, dan tidak peduli terhadap lingkungan (sumber: id. Theasianparents.com)
Sebagai seorang ibu seharusnya aku mampu bersabar dan menahan emosiku. Seharusnya, aku lebih memahami maksud hati dan perasaan anakku. Seharusnya aku tak memarahi anakku dengan meneriakinya.
Wahai diri, kau adalah seorang ibu. Kendalikan amarahmu terhadap anak-anakmu. Jangan biarkan anak-anakmu tumbuh dengan menyimpan luka di hatinya.
Hal itu akan memberikan dampak psikologis yang buruk di masa depannya. Bukankah kau mencintai mereka. Maafkanlah kesalahan mereka yang tak seberapa. Mereka hanyalah anak-anak yang sedang belajar menjadi manusia yang berkepribadian baik.
Ingatlah bahwa anak-anakmu adalah para peniru ulung. Mereka akan meniru segala tingkah lakumu. Mereka akan belajar dari sosok ayah dan ibu. Oleh karena itu, berikanlah teladan yang baik kepada mereka.
Jika mereka melakukan kesalahan beritahulah dengan bahasa yang baik. Agar mereka mampu mencernanya dengan baik pula. Ajaklah berkomunikasi dengan baik. Berilah penjelasan. Jangan memakinya apalagi dengan menggunakan kata-kata yang tak pantas. Hindarilah itu!
Rasulullah Saw. menjelaskan agar kita menjauhkan diri dari amarah karena amarah itu pintu masuk setan untuk menjerumuskan manusia. Jika engkau marah ubahlah posisi dudukmu dengan duduk atau berdiri. Bisa juga dengan berwudu. Hal tersebut akan memadamkan amarah yang menggelayuti hatimu. Jika engkau mampu mengendalikan amarahmu Insya Allah, Engkau akan menikmati indahnya surga.
"Marah itu berasal dari setan. Sementara setan diciptakan dari api dan api hanya dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, jika di antara kalian ada yang marah segeralah berwudhu.” (HR. Ahmad bin Hanbal)
Dalam riwayat Abu Darda ra disebutkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku sebuah amal perbuatan yang dapat memasukkanku ke surga.” Dengan singkat beliau berkata, “Jangan marah, engkau pasti masuk surga.”
Semoga kita senantiasa mampu menahan amarah yang menggiring manusia pada kealpaan yang berujung pada penyesalan. Amiin
Wallahualam Bisshawab.
Komentar